Kolaborasi Pemangku Kebijakan pada Sektor Industri Energi

, , No Comments
Indonesia pernah berjaya sebagai negara pengekspor minyak pada rentang waktu 1970-1980 lantaran saat itu harga minyak dunia melesat saat terjadi krisis di Timur Tengah. Kejayaan itu bahkan menjadi ikon kebanggaan ekonomi Tanah Air selama rentang tiga puluhan tahun (1970 hingga akhir 1990). Namun kini, itu tak bisa lagi dijadikan lokomotif pemacu pertumbuhan ekonomi Indonesia. Indonesia harus mampu memproduksi komoditas olahan.

Demikian kesepakatan bersama antara Bank Indonesia dan Pemerintah, usai Rapat Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mengambil tema "Kedaulatan Energi. Mempercepat Pembangunan Infrastruktur Energi untuk Mendukung Pertumbuhan Ekonomi yang Berkelanjutan" di Balikpapan, Kalimantan Timur, 11 Agustus 2015. Hakikat dari kesepakatan tersebut, pada intinya menuju pada peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi ke tingkatan yang lebih tinggi serta berkesinambungan dan inklusif atau merata, Indonesia harus bisa mencapai ketahanan energi. Pencapaian ketahanan energy ini selanjutnya akan mendukung industrialisasi dalam negeri. Kemudian industri yang digalakkan pun harus menitikberatkan sektor hilir yakni, bukan lagi memperbanyak komoditas mentah yang kemudian diekspor ke luar negeri. Karena bahan mentah dari Indonesia yang dibeli dan diolah oleh negara lain, malah menjadi komoditas bernilai jual lebih tinggi.



Contohnya ketika minyak mentah Indonesia diekspor ke Amerika Serikat, kemudian oleh negara tersebut bahan mentah itu diolah menjadi bahan bakar siap pakai. Alhasil ketika Indonesia butuh bahan bakar yang sudah jadi, harus membayar lebih tinggi dari harga minyak mentahnya sendiri. Inilah yang ke depannya harus dihindari. Indonesia harus mampu membuat industri manufaktur, terutama di bidang energi.

"Perlu segera dilakukan berbagai langkah yang diperlukan untuk memercepat transformasi perekonomian melalui hilirisasi dan pengembangan kedaulatan energi," ungkap Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo.

Selain pertimbangan hilirisasi, juga lantaran permintaan dunia terhadap komoditas primer yang terus turun serta harga-harga komoditas yang juga menurun. Ini menyiratkan pesan bahwa Indonesia tak bisa lagi mengandalkan ekspor komoditas primer sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi.

Hal itu tercermin dari terkoreksinya pertumbuhan ekonomi ke arah negatif, di beberapa daerah yang mengandalkan komoditas sumberdaya alam. Pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah di Indonesia yang mengandalkan komoditas sumberdaya alam, mengalami pertumbuhan negatif dalam beberapa periode terakhir.

Untuk menghasilkan komoditas olahan secara optimal, Indonesia harus memiliki kekuatan industrialisasi. "Kekuatan (industrialisasi) inilah yang akan menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dalam menghadapi dampak gejolak ekonomi global," kata Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro. Lebih lanjut, Bambang Brodjonegoro mengatakan industrialisasi yang dimaksud tak lain adalah penguatan sektor hilir.

Potensi Daerah
Mengapa Kalimantan? Menjawab pertanyaan ini, Agus Martowadojo mengingatkan bahwa Indonesia harus memanfaatkan potensi sumber daya alam sektor energi, dimana Kalimantan merupakan salah satu lumbungnya. "Dilakukan dengan cara membangun industrialisasi yang berbasis pada sumberdaya alam, yang tersedia di masing-masing daerah." 

Kemudian menanggapi hal itu, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek mengatakan upaya hilirisasi yang tengah dilakukan pihaknya ialah membangun smelter dan pengembangan industri petrokimia. Tak hanya di Kalimantan Timur, upaya membangun smelter dan pengembangan industri petrokimia juga akan dilakukan di seluruh Kalimantan, dengan berkoodinasi bersama pemerintah.

Lalu untuk mencapai ketahanan energi melalui pemanfaatan sumber daya energi tersebut, Indonesia juga harus memiliki kesiapan infrastruktur. Itulah sebabnya diakhir rapat tersebut muncul rekomendasi dari para peserta rapat, yakni bagaimana cara mewujudkan sinergi kebijakan makroekonomi, sektoral, dan strategi pembiayaan infrastruktur energi. Ya, Indonesia masih dihadapkan berbagai permasalahan dan tantangan dalam membangun proyek infrastruktur.

Itulah sebabnya dalam rapat bersama pemangku kebijakan ini, kerjasama antar sektor pemerintah harus menghasilkan kebijakan yang mempercepat pembangunan infrastruktur energi. Dengan kesiapan infrastruktur yang baik, pertumbuhan ekonomi akan tumbuh lebih cepat. Awang Faroek menekankan bahwa infrastruktur energi tersebut akan dibangun untuk mendukung terjadinya kemandirian energi Indonesia, yakni hilirisasi sumberdaya energi dan minyak bumi.

"Karena Kalimantan memiliki potensi besar untuk melaksanakan hilirisasi, sejalan dengan sumber daya alam yang dimilikinya. Antara lain minyak, gas, dan batubara," kata Awang Faroek.


Kolaborasi Kebijakan
Dari sisi keuangan negara, demi mengoptimalkan industrialisasi, Kementerian Keuangan mempersiapkan insentif fiskal dalam pengembangan infrastruktur energi. Fasilitasyang disediakan adalah rencana pemberian tax holiday dalam bentuk relaksasi jangka waktu yang lebih panjang bagi industri sumber daya terbarukan dan industri pengilangan minyak bumi.

Selain itu juga telah dipersiapkan tax allowance, antara lain berupa pengurangan pajak penghasilan netto, penyusutan dan amortisasi bagi bidang usaha terkait pertambangan, smelter, dan pembangkit listrik. Terkait skema pembiayaan infrastruktur, pemerintah mendorong skema pembiayaan dengan public-private partnership (PPP) dalam proses akuisisi lahan, pengembangan proyek, termasuk penjaminan pemerintah melalui PT Penjamin Infrastruktur Indonesia.

Bambang Brodjonegoro dan Awang Faroek (berpeci)


Selain kemudahan dari Kementerian Keuangan, dukungan terhadap pembangunan infrastruktur energi ini datang dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), berupa adanya prioritas kepada proyek-proyek pembangunan infrastruktur. "Pembangunan infrastruktur di kawasan hutan akan dibolehkan," demikian diungkap Menteri LHK Siti Nurbaya. "Beberapa diantaranya ialah telah selesainya perubahan kawasan hutan dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah di Kalimantan."

Selain itu, untuk mendukung percepatan pembangunan listrik 35.000 MW, Kementerian LHK telah memproses berbagai perijinan yang menjadi kewenangannya, termasuk berbagai persetujuan prinsip kepada PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Lalu terkait kawasan hutan, lanjut Siti Nurbaya, berdasarkan arahan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo pada seluruh fungsi hutan, mulai dari cagar alam, hutan lindung, hingga hutan produksi, boleh dimanfaatkan untuk infrastruktur energi.

Meski begitu, hal tersebut tetap membutuhkan dukungan pemerintah daerah untuk mempercepat proses penetapan peraturan daerah tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Menanggapi hal itu, Awang Faroek mengatakan beberapa proyek infrastruktur saat ini telah dilaksanakan di daerah yang dipimpinnya. Namun belum seluruhnya terealisir seperti proyek jalan tol. "Nantinya lebih dari 25 persen akan terealisir," ungkap Awang Faroek.

Rapat koordinasi tersebut dilaksanakan di Balikpapan, pada Selasa, 11 Agustus 2015. Hadir dalam rapat itu Gubernur Bank Indonesia Agus D. W. Martowardojo bersama para menteri terkait yakni Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir serta para pejabat daerah yaitu Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, dan para Walikota beserta jajarannya.

Dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM), dukungan yang diberikan ialah menjadikan pengembangan infrastruktur energi sebagai prioritas, dengan memberikan relaksasi perijinan. Implementasi kebijakan dan proyek strategis dilakukan untuk melaksanakan bauran energi nasional. Terkait dengan proyek listrik, selain relaksasi, juga dilakukan penyederhanaan prosedur penetapan harga jual listrik serta perpanjangan jaminan kontrak hingga 25 tahun.

Kesimpulan pertemuan itu adalah bahwa perekonomian Kalimantan Timur dan Kalimantan secara umum harus bergeser. Semula, perekonomian Kalimantan bersandar pada penjualan komoditas sumber daya alam mentah, sehingga perekonomian harus berbasis pada industri hilir.


Para pimpinan instansi negara dan kementerian yang hadir dalam rapat itu adalah Gubernur Bank Indonesia Agus D. W. Martowardojo bersama para menteri terkait yakni Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir serta para pejabat daerah yaitu Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek, dan para Walikota beserta jajarannya.

0 comments:

Post a Comment

Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com