Bank Indonesia melalui Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Monoter Bank Indonesia Judha Agung dua pekan lalu mengumumkan tujuh langkah strategis untuk mengatasi potensi keterpurukan situasi pasar.
Hal tersebut dilakukan Bank Indonesia, lantaran nilai tukar Rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (US$) memang dinilai sudah di luar batas kewajaran. Namun bagaimana bila tujuh kebijakan moneter yang telah dan akan dilakukan Bank Indonesia tidak juga mampu memperkuat nilai tukar Rupiah?
Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo menyebut saat ini telah ada kesepakatan bilateral currency swap agreement (BCSA) dengan bank sentral dari tiga negara lain, untuk meredam keperkasaan US$. Tiga bank sentral yang diajak kerjasama adalah Cina, Korea Selatan, dan Jepang.
Kemungkinan menjalankan BCSA, menurut Agus Martowardojo, agar ketika bertransaksi, Indonesia tidak perlu menggunakan US$. "Tujuannya, agar kita bisa berdagang dengan mata uang masing-masing negara itu,” kata Agus Martowardojo Senin (24/8/2015).
Kesepakatan BCSA terakhir yang ditandatangai Bank Indonesia adalah dengan bank sentral Korea Selatan, yakni pada 6 Maret 2014 lalu. Dengan perjanjian tersebut, dimungkinkan swap (pertukaran) mata uang lokal antara kedua bank sentral senilai 10,7 triliun won atau setara Rp 115 triliun. Akan berlaku efektif selama tiga tahun, dan dapat diperpanjang atas kesepakatan kedua bank.
Latar belakang terbentuknya kesepakatan dengan Korea Selatan tersebut, salah satunya menurut Agus Martowardojo, lantaran banyak perusahaan Indonesia pada 2013 lalu mengalami kerugian nilai tukar, lantaran terlalu sering bertransaksi menggunakan US$.
Sementara kesepakatan BCSA dengan bank sentral Cina dibuat pada 2010, di mana salah satu dasar hukum dilakukan perjanjian kerjasama tersebut adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/6/PBI/2010 tentang Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan Terhadap Surat Berharga Rupiah Bank Kepada Bank Indonesia.
Tujuh Langkah
Adapun tujuh langkah strategis yang dilakukan Bank Indonesia ialah pertama, Bank Indonesia akan melakukan intervensi di pasar valuta asing (valas) untuk mengendalikan volatilitas nilai tukar Rupiah dengan menggunakan cadangan devisa. Langkah kedua, Bank Indonesia akan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder, namun tetap memperhatikan dampak ketersediaan SBN untuk masuknya dana asing, dan likuiditas pasar.
Ketiga, mengadakan Operasi Pasar Terbuka (OPT) sebagai penguatan likuiditas Rupiah, yang tujuannya mengalihkan likuiditas harian tenor ke jangka waktu yang lebih panjang. Dalam OPT ini, Bank Indonesia akan menyerap likuiditas perbankan yang berlebih dan menempatnya pada instrumen yang bersifat jangka panjang.
Ada tiga cara dalam OPT ini, yakni Bank Indonesia akan mengubah mekanisme lelang Reverse Repo (RR) SBN dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, kemudian menyesuaikan pricing RR SBN dan memperpanjang tenor dengan menerbitkan RR SBN tiga bulan.
Langkah selanjutnya, skema lelang Sertifikat Deposito Bank Indonesia (SDBI) akan diubah dari variable rate tender menjadi fixed rate tender dan menyesuaikan pricing serta menerbitkan SDBI tenor enam bulan.
Dan Bank Indonesia kembali menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) bertenor sembilan bulan dan 12 bulan, dengan mekanisme lelang fixed rate tender dan menyesuaikan pricing. Konsep fixed rate tersebut bertujuan, merangsang perbankan menyempatkan dana berlebih pada instrumen milik Bank Indonesia. "Apakah nantinya penawaran perbankan diterima oleh Bank Indonesia, itu bisa mereka (perbankan) perhitungkan," kata Judha Agung dalam jumpa pers di gedung Bank Indonesia, Kamis (20/8/2015). Tentunya Bank Indonesia menawarkan bunga yang menarik.
Kebijakan selanjutnya, atau yang keempat adalah, menyesuaikan frekuensi lelang Foreign Exchange (FX) Swap, dari dua kali seminggu menjadi sekali seminggu. Kelima, mengubah mekanisme lelang Term Deposit (TD) Valas, dari variable rate tender menjadi fixed rate tender, menyesuaikan harganya (pricing), dan memperpanjang tenor sampai tiga bulan.
Kebijakan keenam adalah menurunkan batas pembelian valas menjadi US$ 25.000 per nasabah per bulan, dari sebelumnya US$ 100.000. Adapun valas tersebut adalah yang dibeli tanpa pembuktian dokumen underlying transaction. Nasabah juga wajib melampirkan NPWP (nomor pokok wajib pajak).
Hal itu lantaran setiap pembelian valuta asing harus berdasarkan tujuan usaha, bukan hanya mencari spekulasi atau keuntungan semata. Dan kebijakan ketujuh atau terakhir, Bank Indonesia akan melakukan koordinasi dengan Pemerintah, dan Bank Sentral negara lain untuk memperkuat cadangan devisa.
0 comments:
Post a Comment
Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com