Bank Indonesia: Segera Lepaskan US$ dan Kuatkan Sektor Riil

, , No Comments
Masyarakat dinilai kerap terperangkap dengan ilusi level kurs, dalam menanggapi kurs valuta asing (valas). Contohnya saat kurs bergerak dari Rp 9.500 ke Rp 9.600 (depresiasi 11 persen) orang tenang saja. Namun saat pelemahan waktu bergerak dari Ro 9.975 ke Rp 10.000 (2,5 persen) masyarakat langsung panik karena menganggap Rp 10.000 sebagai level psikologis.

Padahal kurs itu harga relatif. Artinya, nilainya harus selalu dibandingkan dengan gerakan mata uang lain. Untuk peran ini, meskipun tekanan global sangat luar biasa, Bank Indonesia sudah cukup mampu mengendalikan Rupiah bergerak searah dengan negara mitra.

Nilai Rupiah, pada penutupan pasar Senin sore lalu (24/8/2014) cukup mengejutkan, lantaran menembus angka Rp 14.049 per dolar Amerika Serikat (US$). Terendah sejak Juli 1998.

Namun minimal dalam kondisi ini, menurut Deputi Kantor Perwakilan Bank Indonesia Sulawesi Selatan, Causa Iman Karana, Indonesia bisa sebanding atau bahkan lebih baik daripada depresiasi negara lain. Contohnya Malaysia, yang depresiasinya mencapai -19%, Meksiko -15%, Turki -25%, Brazil -32%, Rusia -19%, Korea -9%, dan Thailand -9%.

Pada intinya, Bank Indonesia akan tetap menjaga pergerakan kurs agar sesuai dengan negara mitra dagang. Karena adalah wajar bila nilai Rupiah ikut bergerak ketika kurs mitra dagang bergerak. Disitulah peran bank sentral dijalankan, yakni melakukan intervensi melalui pasar valuta asing.

Lepaskan US$

Kemudian untuk mencegah mencegah Rupiah tertekan lebih dalam, Bank Indonesia meminta para eksportir untuk melepas valuta asing. Para pengusaha yang kerap menyimpan keuntungan hasil ekspornya dengan kurs US$ diminta segera menukarkannya ke Rupiah. Pelepasan valuta asing tersebut, menurut Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo, diharapkan dapat menyeimbangkan pengeluaran dan permintaan.

Kalangan pengusaha menilai, persoalan ekonomi di Indonesia sudah dapat diperkirakan, yakni dari dampak uang. Dolar banyak beredar di Indonesia karena Indonesia merupakan negara importir. Sehingga menurut mereka pelepasan dolar adalah solusi normatif.

Namun, berlatarbelakang pelepasan Rupiah tersebut, Bank Indonesia memutuskan untuk membatasi pembelian valuta asing menjadi hanya sebatas US$ 25.000, dari sebelumnya US$ 100.000 bagi transaksi tanpa underlying atau keperluan tertentu.

Produksi Manufaktur

Bicara dampak riil, salah satu yang dikuatirkan masyarakat atas pelemahan Rupiah ini adalah, Indonesia sebagai negara yang mengandalkan impor bahan pangan (antara lain beras dan gula), menjadi imbas langsung kenaikan harga bahan pokok.

Mengutip wawancara Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan kantor berita BBC beberapa hari lalu, dikatakan bahwa pilihan pemerintah untuk memulihkan kondisi ekonomi sangat terbatas. Dan hal itu diakui Jusuf Kalla.

"Yang dilakukan pemerintah, pilihan-pilihan tidak banyak. Memperkuat ekonomi domestik kita, dengan cara stimulus pemerintah lebih cepat, mengurangi impor kebutuhan pokok seperti beras gula, terigu, atau hasil industri. Maka kita tingkatkan industri dalam negeri untuk penuhi kebutuhan nasional sehingga mengurangi impor kita juga, meningkatkan produksi pertanian ujungnya. Itu ruang yang ada, karena yang lain itu sangat terbatas," jelas Jusuf Kalla, Jumat (21/08).



Dan akhirnya pada pertengahan Agustus lalu di Balikpapan, Kalimantan Timur, pemerintah dan Bank Indonesia mengadakan pertemuan khusus guna membahas solusi energi alternatif dan swasembada pangan dalam mencegah pelemahan ekonomi ke level lebih tajam. Indonesia harus mulai memproduksi dan mengekspor komoditas energi manufaktur dan olahan, seiring mengurangi produksi dan ekspor bahan mentah. Jika kedua hal itu berhasil, niscaya perekonomian Indonesia tidak akan tertekan lebih dalam.

0 comments:

Post a Comment

Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com