Wajib! Transaksi di NKRI Gunakan Rupiah, Sekarang atau Bertahap

, , No Comments
Sikap mayoritas pengusaha menolak diterapkannya transaksi menggunakan Rupiah menurut pengamat ekonomi dari Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa tidak dapat dibenarkan. Penolakan tersebut menurutnya hanya untuk keuntungan pribadi sehingga nilai tukar Rupiah terus terpuruk. Ia berharap kewajiban penggunaan Rupiah pada transaksi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015, didukung semua pihak.

Nggak, mereka ogah rugi saja. Mereka pikir kalau pegang dolar (US$) berharap Rupiah melemah terus, sehingga mereka bisa untung nanti pada suatu saat,"” jelas Purbaya Yudhi Sadewa. “Kalau dibiarkan terus, kita rugi semua. Tetapi kalau mereka bisa melihat dalam jangka waktu panjang, memberikan landasan yang kuat stabilitas nilai tukar, itu akan menciptakan stabilitas dalam jangka panjang kalau kita bisa menjalankannya dengan baik. BI dalam hal ini melakukan langkah yang baik sekali.”

Adapun PBI Nomor 17/3/PBI/2015 tentang kewajiban penggunaan Rupiah di wilayah NKRI yang dikeluarkan Bank Indonesia beberapa waktu lalu merupakan penegasan kembali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang.

 Di Pasal 23 dalam undang-undang tersebut juga sudah ditegaskan, bahwa Rupiah menjadi alat pembayaran atau penyelesaian kewajiban dalam transaksi keuangan dalam negeri. Namun implementasinya masih terus terhambat karena keengganan mayoritas pelaku ekonomi menggunakan Rupiah.

Foto: FreeFoto.com

Gubernur Bank Indonesia Agus D.W. Martowardojo menegaskan, sudah saatnya Rupiah lebih dihargai dibanding sebelumnya. “Mungkin sudah 40 tahun kita mendiamkan, membiarkan transaksi di dalam negeri dilakukan dalam valuta asing. Kalau kita mau memperbaiki memang harus dimulai dari sekarang. Kita perlu patuhi melakukan transaksi di dalam NKRI dengan Rupiah karena asas kedaulatan, kepatuhan terhadap undang-undang, menjaga stabilitas sistem keuangan,” jelas Agus Martowardojo.

Transaksi menggunakan US$, menurut Agus Martowardojo, membuat nilai tukar Rupiah terus tertekan. Sebagaimana yang diamanatkan dalam undang-undang, lanjutnya, US$ yang dijual untuk membeli Rupiah, akan membuat Rupiah lebih kuat. Transaksi di atas US$ 75 milyar dilakukan antar penduduk per tahun. Dari jumlah itu, 52 persen untuk keperluan membeli barang dan jasa. “Itu yang menyebabkan demand dolar lebih tinggi dari supply-nya mengakibatkan pelemahan rupiah,” imbuhnya.

Sebelumnya secara khusus BI juga catatan Bank Indonesia menemukan, sekitar 95 persen label barang dan jasa di Bali menggunakan US$. Agus Martowardojo pun mengimbau pengusaha di kawasan Bali untuk segera melakukan transaksi menggunakan Rupiah.

Tidak hanya pengusaha swasta yang berkeberatan transaksi dilakukan dengan Rupiah, PT Pertamina pun keberatan. Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan alasan Pertamina meminta transaksi dengan US$ karena proses impor, sehingga Pertamina harus memiliki stok mata uang US$.

“Memang kami menyampaikan surat kepada Bank Indonesia untuk bisa dipertimbangkan karena kami ada yang juga harus beli dolar, ada pembelian yang memang dibutuhkan dolar yang cukup besar, impor minyak. Impor crude kan semuanya dalam dolar,” kata Dirut Pertamina Dwi Soetjipto. Terkait hal tersebut Bank Indonesia memberi pengecualian terhadap Pertamina, namun untuk kegiatan ekspor. Namun Pertamina diminta secara bertahap beralih menggunakan Rupiah.

Sumber: VOA Indonesia

0 comments:

Post a Comment

Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com