Paradigma komunikasi yang berubah tersebut yakni, masyarakat kini pada umumnya lebih menajamkan perhatian kepada opini dan interaksi di media sosial, seperti Twitter, Facebook, Instagram, Path, dan lainnya. "Yang terasa saat ini, adalah lebih mencekam ketika orang-orang mengungkapkan opini, bahkan amarah mereka, di media sosial. Ya, lebih mencekam efeknya ketimbang mereka mengungkapkan langsung bertemu muka," ungkap Ika Karlina.
![]() |
| Twitter Bank Indonesia @bank_indonesia |
Hal itu terbukti ketika salah seorang artis kondang Ahmad Dhani ngomel di Twitter kepada salah satu maskapai nasional. Ungkapan Ahmad Dhani tersebut langsung direspon dalam hitungan kurang dari dua jam, dengan pernyataan maaf oleh maskapai tersebut. "Mungkin kalau Ahmad Dhani ngomel-ngomel langsung di depan supervisornya, respon permohonan maafnya baru besok atau lusa dikeluarkan," pungkas Ika. Bahkan lanjutnya, mungkin itu tak akan direspon sebelum Ahmad Dhani berkeluh kesah di media massa.
Sehingga pada hakikatnya, media yang paling ampuh dalam mengkomunikasikan sesuatu hal yang besar, memiliki magnitude, dan yang bermakna sangat penting, saat ini adalah media sosial. Sehubungan dengan kondisi tersebut, Direktur Paramadina Public Policy Institute, Abdul Rahman Ma'mum dalam kesempatan yang sama menyimpulkan bahwa pada akhirnya transparansi informasi bagi publik adalah keniscayaan, tidak bisa lagi ditutup-tutupi apalagi dihambat.
Sudah saatnya negara, dalam hal ini pihak penyelenggara seperti instansi pemerintah, lembaga publik, dan instansi terkait, harus membuka seluas-luasnya informasi kepada publik. Tentunya, informasi yang dibuka ke publik itu adalah yang masih dalam koridor Undang-Undang (UU) Keterbukaan Informasi Publik (KIP). "Karena transparan bukan berarti sebebas-bebasnya, sehingga menyinggung pihak lain bahkan membahayakan hajat hidup masyarakat," ungkap Abdul Rahman.
Pilah Informasi
Karena ada jenis informasi yang harus dilindungi, yang menurut UU KIP bila informasi itu dibuka ke khalayak umum, akan menghambat penegakan hukum, menyebabkan persaingan bisnis menjadi tidak sehat, mengganggu hubungan internasional negara, membahayakan pertahanan negara, serta membahayakan nyawa orang lain. "Inilah yang harus dipilah dan disikapi dengan hati-hati, atau malah akan menjerumuskan penyedia informasi itu sendiri ke ranah pidana," kata Abdul Rahman dalam acara yang dihadiri praktisi humas dari berbagai instansi pemerintah dan kementerian itu.
Lalu apa yang bisa dimanfaatkan dari keampuhan dan luasnya cakupan informasi oleh bantuan media sosial ini? Menurut wartawan senior Tempo, Burhan Solihin keampuhan media sosial bisa membantu membangun reputasi pemerintah di mata masyarakat. Dimana bila reputasi ini berhasil dibangun kokoh atas dasar kepercayaan masyarakat, maka pemerintah akan dapat menjalani roda pemerintahan dengan baik dan lancar. "Karena media sosial akan membentuk opini masyarakat. Tentunya dilatarbelakangi informasi yang valid," ungkap Burhan.
Interaksi
Lalu, selain informasi yang terpercaya dan benar adanya, juga harus dibarengi dengan interaksi langsung. Burhan mengambil contoh media sosial Twitter yang memiliki kecepatan interaksi yang sangat cepat. Menurutnya kecepatan interaksi itu harus dimanfatkan untuk membangun komunikasi yang cepat dan tepat. "Inilah saat yang tepat bagi semua pihak terkait, mengambil peran memberikan tanggapan atas permasalahan yang menyangkut kredibilitas mereka dan juga kehidupan masyarakat," tuturnya.
Pasalnya bila pihak-pihak terkait tersebut, yakni mereka yang bertanggungjawab dalam mengkomunikasikan kebijakan ke publik tidak cepat tanggap, maka selain dia akan menurunkan kredibilitas instansi atau lembaga yang diwakilinya, juga akan merusak kualitas dirinya sendiri pula. "Karena mereka jelas tidak responsif, apatis terhadap keperluan informasi publik," jelas Burhan.
Tak kalah penting pula, menurut Ika Karlina, kesiapan masyarakat atas arus informasi. "Masyarakat, selain masih banyak yang apatis, tidak peduli, tidak peka dalam menyikapi arus informasi, juga masih banyak yang tidak legawa atau masih mengandalkan egoisme terhadap perkembangan informasi," ungkapnya. Banyak contoh, ketika masyarakat pada hakikatnya sudah paham kondisi lantaran perkembangan yang terjadi di hadapan mereka, namun tetap tidak memiliki inisiatif untuk merubah keadaan.
Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ketertinggalan masyarakat dalam segala hal. Secara sederhananya, saat diri masih mengeluh karena kaki terperosok di lubang, ternyata orang lain sudah pergi ke bulan karena mereka mau segera mengubah keadaan.
Adapun media sosial sebagai pembangun reputasi online atau berdasarkan waktu dinamis, akan sejalan dengan terbangunnya reputasi secara offline atau berdasarkan waktu saat itu saja (statis). Misalnya saat pihak atau individu tersebut berada di tengah perannya menyediakan informasi penting bagi masyarakat, maka mereka harus tanggap terhadap wadah-wadah informasi apa saja yang bisa menyumbangkan (feeder) informasi penting ke publik. Karenanya, adalah penting membangun reputasi online maupun offline.
Sehingga informasi-informasi yang harus disediakan ke publik juga harus dipantau dan dirangkum dalam sebuah wadah informasi statis. Hal ini menurut Burhan adalah sebagai kiat rujukan kepada masyarakat. "Masyarakat tak mungkin disuruh memantau Twitter, Facebook, dan lainnya seharian penuh. Untuk itu, semua informasi yang sudah beredar dan dibutuhkan bagi masyarakat, harus dibukukan. Baik dijadikan buku atau dipublikasikan lewat majalah atau surat kabar harian," tuturnya.


0 comments:
Post a Comment
Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com