Asal mula Bank Indonesia adalah De Javasche Bank (DJB) yang didirikan pada 1828. Pada abad ke-15, ramainya perdagangan di kawasan Asia menjadi daya tarik tersendiri. Ramainya perdagangan tersebut kemudian menghadirkan ekspedisi perdagangan bangsa Eropa di Nusantara.
Pada 1746, untuk permudah perdagangan VOC di Nusantara (nama Indonesia saat itu) didirikanlah De Bank van Leening.
Kemudian pada 1752, De Bank van Leening berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening yang merupakan bank pertama yang beroperasi di Nusantara.
Di Pemerintahan Sir Thomas Stamford Raffles, mata uang Rijksdaalder diganti menjadi Real Spanyol. Lalu pada 1813 Real Spanyol menjadi Ropij Jawa.
Pada periode 1815-1819, kondisi keuangan di Hindia Belanda memerlukan penertiban dan pengaturan sistem pembayaran, dalam bentuk lembaga bank. Tepatnya pada 1819, kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, mendesak agar pemerintahan mendirikan lembaga bank. Desakan didirikannya lembaga bank oleh pengusaha di Batavia tersebut guna memenuhi kepentingan bisnis mereka.
Oktroi
Lalu pada 9 Desember 1826 Raja Willem I menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda, yang isinya perintah untuk membentuk bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu atau Oktroi. Atas dasar Surat Kuasa Raja Willem I tersebut Pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya De Javasche Bank.
Setahun kemudian, tepatnya pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No 28 tentang Oktroi dari Komisaris Jenderal Hindia, yang mengatur ketentuan DJB. Dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No 25, pada 24 Januari 1828 ditetapkanlah Akte Pendirian DJB.
Oktroi DJB pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837. Setelah diberlakukan, pada 11 Maret 1828, DJB mencetak uang kertas pertama kali senilai ƒ 1. 120.000,- dengan pecahan uang kertas ƒ 1000, ƒ 500, ƒ 300, ƒ 200, ƒ100, ƒ 50, dan ƒ 25.
Tahun kedua, DJB mulai buka kantor cabang di luar Batavia, yaitu Semarang dan Surabaya. Oktroi pertama ini lalu diperpanjang hingga 31 Maret 1838.
Periode Oktroi keempat, didirikan lima kantor cabang di Jawa maupun luar Jawa yaitu Padang, Makasar, Cirebon, Solo dan Pasuruan. Menjelang berakhirnya Oktroi kelima, dibukalah Kantor Cabang DJB Yogyakarta.
Pada periode Oktroi keenam, di usianya yang 52 tahun, DJB melakukan pembaruan dasar pendiriannya dengan Akte Pendirian di hadapan Notaris Derk Bodde, di Jakarta pada 22 Maret 1881.
Dalam akte baru tersebut, DJB mengubah statusnya menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan Akte tersebut NV.DJB dianggap sebagai perusahaan baru. Masih di periode Oktroi keenam, pada 31 Maret 1890 terjadilah penutupan Kantor Cabang DJB Pasuruan, lantaran selalu merugi.
Periode Oktroi kedelapan adalah Oktroi DJB terakhir, yang berakhir pada 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang sampai 31 Maret 1922.
Usai Oktroi kedelapan, berlaku De Javasche Bankwet (DJB Wet) dengan ketentuan barunya. Ketentuan baru DJB Wet menitikberatkan di bidang sistem pembayaran di Hindia Belanda. Pada periode DJB Wet tersebut, terjadi perkembangan yang pesat, dengan lahirnya 16 Kantor Cabang.
Pendudukan Jepang
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa pada 1942, DJB Wet memindahkan asetnya keluar Nusantara. Presiden DJB Wet Dr. G.G. van Buttingha Wichers memindahkan semua cadangan emas ke Australia dan Afrika Selatan. Setelah Jepang masuk Nusantara, pimpinan tentara Jepang untuk Pulau Jawa di Jakarta memerintahkan likuidasi seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Selama 1942-1944, untuk bank sirkulasi di pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang bertugas mengedarkan invansion money. Adapun invasion money yang dicetak di Jepang, terdiri dalam tujuh denominasi yakni dari 1 Gulden hingga 10 Gulden.
Namun sebelumnya, pada 1945 pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, negara terbelah menjadi dua pemerintahan, yakni Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA) dan Republik Indonesia. NICA menugaskan De Javasche Bank mengambil alih peran Nanpo Kaihatsu Ginko.
Tugas DJB saat itu adalah sebagai bank sirkulasi.
Pada 19 Oktober 1945, wilayah yang dikuasai Republik Indonesia membentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia). Jajasan Poesat Bank Indonesia pada 1946 melebur dalam Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi.
Lalu pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah RI No 2 dan 3, mengumumkan bahwa uang NICA tidak berlaku lagi di wilayah RI.
Hal itu lantaran terhitung hingga Maret 1946, jumlah uang beredar di wilayah Hindia Belanda mencapai sekitar 8 milyar Gulden. Jumlah uang beredar sebanyak itu menimbulkan hancurnya nilai mata uang dan memperberat beban ekonomi Hindia Belanda.
Dan akhirnya pada 30 Oktober 1946, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) diterbitkan pertama kali. Dengan keluarnya ORI ini, uang Jepang serta uang Belanda dinyatakan tidak lagi berlaku.
Bank Indonesia
Pemerintah pada 1951 berniat untuk menasionalisasi DJB. Pada 19 Juni 1951 pemerintah pun membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Kemudian 15 Desember 1951, diumumkanlah undang-undang No. 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi DJB. Nasionalisasi dilaksanakan melalui pembelian 99,4% saham DJB senilai 8,9 juta Gulden.
Pada September 1952 pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pokok Bank Indonesia ke parlemen dan dipelajari.
Pada 10 April 1953 parlemen menyetujui RUU Pokok Bank Indonesia tersebut. Mei 1953, tepatnya tanggal 29, Presiden Soekarno mengesahkan RUU Pokok Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UU). Pada 1 Juli 1953, diberlakukanlah UU Pokok Bank Indonesia sehingga sejak 1 Juli 1953 bangsa Indonesia memiliki bank sentral dengan nama Bank Indonesia.
0 comments:
Post a Comment
Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com