Lebih lanjut mengenai kelebihan Indonesia dalam pengelolaan utang negara, Arief menyampaikan bahwa Indonesia unggul dari sisi regulasi mitigasi risiko ULN. Terutama dari sisi waktu, Indonesia telah tepat menempatkannya sehingga mendapatkan gambaran respon utang yang cukup baik. "Kebijakan yang Bank Indonesia tempuh, direspon baik oleh market," ungkap Arief Hartawan.
Hal itu terlihat dari data yang dipaparkan Departemen Statistik (DSta) Bank Indonesia, bahwa utang luar negeri (ULN) Indonesia pada Juli 2015 tumbuh 3,7 persen, atau melambat dibanding bulan sebelumnya. Saat ini, utang luar negeri Indonesia mencapai 303,7 miliar dolar Amerika Serikat (US$) dari posisi akhir Juni 2015 yg sebesar US$ 304,3 miliar.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia Hendy Sulistyowati menjelaskan, persentase ULN Indonesia tersebut yakni 81,4 persen dalam jangka panjang dan 18,6 persen jangka pendek, atau turun 0,2 persen (month to month). Artinya, menurut Hendy Sulistyowati, Indonesia masih dalam tahap aman secara kebutuhan likuiditas US$ untuk membayar ULN, karena sebagian besar jatuh tempo ULN tersebut di rentang waktu yang masih panjang.
Cermat
Menurut Hendy, hal yang perlu dicermati adalah pertumbuhan utang luar negeri swasta yang jumlahnya mendominasi, mencapai 169,2 miliar dolar AS (US$) atau sekitar 55,7 persen dari total utang luar negeri Indonesia. Hal tersebut lantaran Indonesia sedang melakukan pembangunan infrastruktur.
"Meski sudah jauh lebih baik, kita tetap harus memperhatikan jumlah utang luar negeri, tidak boleh terlalu banyak, karena akan berpengaruh terhadap jumlah valuta asing. Utang juga harus sesuai dengan kemampuan," kata Arief Hartawan.
Adapun ULN adalah sumber pembiayaan yang penting bagi pembangunan negara, sehingga pengelolaannya harus dilakukan dengan cara yang baik. Dari proporsi ULN, berdasarkan data DSta, tampak bahwa utang swasta lebih tinggi dari utang pemerintah.
Dari total ULN Indonesia sebesar US$ 303,7 miliar, sebanyak US$ 169,2 miliar adalah utang swasta dan US$ 134,5 miliar dari pemerintah. Menurut Arief Hartawan tingginya ULN swasta dibanding pemerintah karena peran swasta semakin banyak. Itulah sebabnya, Bank Indonesia mewajibkan pelaporan utang bagi para perusahaan swasta. "Mereka harus lapor dulu agar anatomi utangnya diketahui," pungkasnya.
Berdasarkan peta pelaporan periode triwulan I 2015, seperti dipaparkan Pelaksana Tugas Harian Direktur Pengelolaan dan Kepatuhan Laporan (DPKL) Bank Indonesia, Dewi Normawati, kepatuhan pelapor mencapai 78 persen.
Selebihnya yang belum melaksanakan pelaporan, akan diberi kesempatan untuk melapor, serta diberikan coaching atau pembelajaran cara melapor. Bila masih juga belum mematuhi, maka sanksi akan menunggu, yakni berupa sanksi administrasi dan sanksi kebijakan. "Pada gelombang selanjutnya, dari data yang kami dapat, kepatuhan pelapor meningkat," ungkap Dewi Normawati.
0 comments:
Post a Comment
Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com