Website Bukan Ajang Pajang Foto Pejabat

, , 1 comment
Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) Jamil Mubarok mengatakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun ini meningkat tiga kali lipat dari tahun 2005 lalu, "Di 2005, APBN kita jumlahnya sekitar Rp 590 triliun. Lalu di 2014 mencapai Rp 1.800 triliun, naik tiga kali lipat. Lalu apakah kenaikan ini juga dibarengi peningkatan kualitas?"

Jamil mengatakan masyarakat berhak meminta penjelasan penggunaan anggaran tersebut, apakah tepat sasaran atau tidak? Masyarakat juga berhak mengeluhkan bila saat mengakses informasi anggaran tersebut, sangat sulit atau menemui birokrasi yang luar biasa.

Untuk itu, dia ingin agar kementerian dan lembaga di Indonesia tak perlu lagi harus berhadapan dengan masyarakat yang kecewa. "Yang selama ini, pelayanannya hanya lewat satu jari alias modal tunjuk ke sana tunjuk ke sini, belum lagi berkasnya yang sulit diartikan," ungkap Jamil.

Ilustrasi: http://www.pageresource.com

Dulu, lanjut Jamil, website kementerian dan lembaga hanyalah ajang pajang foto pejabat dan menteri. Padahal bila kita mengakses website kementerian dan lembaga di negara maju seperti di Eropa, tak ada ajang pajang foto para menteri dan pejabatnya yang sedang bersalaman dengan korporasi, sedang tebar senyum dibalik petani yang sedang bermandian lumpur di sawah, dan kegiatan seremonial tidak substansif lainnya.

Bahkan Jamil masih mendapati adanya foto menteri yang sudah menjadi tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tapi masih terpajang apik di website. "Ke depannya ini tak boleh ada lagi. Kementerian dan lembaga harus memudahkan masyarakat memantau uang negara secara mudah, terdukung, dan tidak memelihara birokrasi kompleks," ungkap Jamil.

Foto: http://socsc.smu.edu.sg/

Lebih lanjut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yudi Chrisnandi mengatakan adanya keinginan publik untuk dapat mengakses laporan keuangan kementerian dan lembaga, menunjukkan masyarakat mulai tertarik mengawasi anggaran.

"Misalnya pembatalan pembelian mobil di Riau yang bisa muncul ke publik karena keterbukaan informasi publik. Ini bisa mencegah pejabat publik agar tidak melakukan upaya mencari keuntungan sepihak," ungkap Yudi. Maka pejabat yang bersangkutan bisa diselamatkan dari jeratan hukum dan uang negara pun ikut terselamatkan.

Namun bagaimana dengan pejabat yang menganggap keterbukaan informasi bagi publik adalah hal yang menyulitkan pihaknya? "Kita kini ada pada era digital, dimana mau tak mau pemerintah harus mau menyajikan info ke publik. Bila instansi tak mau mengikuti ini, maka siap-siap saja mereka akan tertinggal dan tak berdaya saing," ungkap Yudi.

Keengganan aparartur negara menerapkan keterbukaan ke publik dan lebih menyukai status quo, lanjut Yudi, telah terbukti di masa lalu menghambat kemajuan negara. "Ada pejabat yang belum menyadari manfaat keterbukaan informasi ke publik. Padahal pejabat tersebut akan dapat dinilai langsung oleh publik bila. Mereka lebih merasa, keterbukaan kepada publik sebagai penjegalan. Mereka ketakutan akan perubahan. Mereka yang menyimpang akan terus menyimpang."

Yudi pun menilai, pola pikir budaya lama yakni ingin dilayani dan bukan melayani pada cara berpikir pejabat, harus diberantas. Inilah yang menyebabkan ketertutupan informasi. "Perilaku seperti ini harus berakhir. Kedepannya, kedepankan nilai-nilai pelayanan kepada masyarakat. Lengkapi juga dengan punishment and reward dalam hal ini," ujar Yudi.

1 comment:

  1. Postingan yang sangat bagus, saya setuju dengan Anda 100%!

    ReplyDelete

Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com