Tentu, kesalahannya bukan pada pelanggan. Mereka tak akan mau tahu semua alasan itu, bila produsen makanan sudah mereka percayai. Bahasa kasarnya, "Kami sudah setia dengan produk Anda, maka mana kesetiaan Anda terhadap keinginan kami?" Inilah yang membutuhkan tolok ukur tersendiri, khususnya mengenai standar produk. Dengan standar yang terukur dan sesuai, maka kepuasan bagi kedua belah pihak akan tercipta.
Contoh lainnya, di belahan dunia mana pun, ukuran tebal kartu kredit dan kartu ATM (anjungan tunai mandiri) sama, yakni 85,6 x 53,98 mm. Di Indonesia, di Inggris, di Afrika, dimanapun, itulah ukurannya. Artinya, dengan standar ukuran kartu yang sama tersebut, maka ukuran mulut mesin penerima kartu kredit dan ATM harus sama, agar tidak terjadi hambatan yang kemudian menyusahkan pengguna kartu.
Rasa puas makanan dan standar ukuran kartu hanyalah lingkup kecil dari penerapan ISO. Maknanya ialah, ISO diterapkan di seluruh produk agar mutu produk tersebut sama. Dengan mutu yang sama, maka manfaatnya terhadap pengguna produk, dimana pun, tidak akan menimbulkan perdebatan. Karena mutu menjadi dasar sebuah organisasi untuk berbisnis dan menghasilkan keuntungan.
Bila ada produk kartu kredit dan kartu ATM yang ukurannya tak sesuai ISO, maka perusahaan penerbit kartu sudah pasti akan mendapatkan komplain dari pengguna kartu dimanapun. Kemudian pihak perusahaan secara spesifik akan memberi sanksi kepada pihak Quality Assurance (QA).
Sehingga secara otomatis, perusahaan yang sudah menerapkan ISO terhadap produknya, adalah perusahaan yang bonafide. Karena mereka sudah paham akan konsekuensinya.
Dari contoh di atas tampak bahwa dalam lingkup yang lebih luas lagi, ISO tak hanya untuk produk berupa barang. Karena penerapan ISO bisa lebih luas lagi.
Namun sebelum beranjak ke produk, apa sebenarnya ISO? Pada hakikatnya ISO adalah alat dan standar untuk mendapatkan kepuasan pelanggan atau konsumen. ISO diambil dari kata Yunani "isos" yang artinya "sama" seperti istilah isoterm yang berarti suhu yang sama atau isobar yaitu tekanan yang sama. Isoterm diterapkan dengan tujuan agar mahluk hidup berada pada kondisi yang prima. Begitupun isobar, agar tekanan ban pada kendaraan berada pada rentang keamanan berkendara.
Pada akhirnya, berpusat di Genewa, Swiss, didukung sekitar 150 negara, terbentuklah sebuah lembaga standarisasi internasional yang namanya pun mengambil dari ISO. Lembaga tersebut bernama International Organization for Standardization.
Keberlangsungan dan Kepuasan
Seperti dijelaskan sebelumnya, penerapan ISO tak hanya pada produk berupa barang. Penerapan ISO pada produk layanan atau jasa, membutuhkan pengendalian lebih luas lagi. Ukuran kepuasan pelanggan tak hanya dari satu sisi, misalnya dari kepuasan kecepatan akses saja seperti pada kartu kredit dan kartu ATM. Keberlanjutan layanan, kualitas pemberian layanan, kesamaan informasi, dan ukuran-ukuran mutu lainnya harus tersampaikan pada konsumen.
Saat seseorang memutuskan membuka rumah makan dengan cita rasa khas, maka dari satu sisi saja, yakni keberlanjutan layanan, harus sesuai. Jangan sampai ketika sudah banyak pelanggan yang merasa cocok dengan rasa masakan rumah makan tersebut, tak lama kemudian rumah makan tutup atau alih usaha. Atau rumah makan tersebut buka dan tutup semau pemiliknya. Sudah tentu penerapan ISO tidak bisa diberikan ke rumah makan tersebut. Kesimpulannya, rumah makan tersebut dikelola dengan tidak profesional.
Begitu pula ketika memutuskan untuk membuka layanan lainnya. Bank Indonesia dengan layanan contact center-nya, yakni Bank Indonesia Call and Interaction (BICARA) telah menerapkan ISO sejak Juli 2014. Beberapa tolok ukur pelayanan Bicara yang sesuai ISO adalah mekanisme pelayanan yang sama dengan mekanisme layanan contact center di seluruh dunia, yakni penyampaian informasi dengan metode ekskalasi.
Dari level pertama, yakni agent inbound dan agent front office yang akan memberikan informasi kepada para pemohon informasi. Bila pada level pertama, para pemohon mendapatkan informasi sesuai yang mereka inginkan, maka tugas pun terselesaikan dan para agent kembali menerima pemohon lainnya. Namun bila informasi yang diberikan belum memuaskan pemohon informasi, maka sebelum menerima pemohon selanjutnya, dia harus melakukan ekskalasi ke level dua, yakni kepada Tim Leader.
Bila di level dua ternyata informasi yang diinginkan pemohon didapatkan, maka tugas selesai dan agent kembali menerima pemohon yang lain. Namun bila dari level dua masih harus di ekskalasi ke level tiga, yakni ke Satuan Kerja yang terkait, yang berisi pihak-pihak yang berhubungan langsung dengan kebijakan perusahaan, maka tentu akan terjadi antrian pemohon di level pertama.
Pada poin ini, standar yang lain, yakni kecukupan jumlah personel juga harus sesuai ISO. Berapa orang jumlah minimal agen level pertama, standar pengetahuan produk para agen, serta rentang waktu layanan mereka, harus dipenuhi agar tidak terjadi antrian. Dan terakhir, bila di level tiga tidak juga dirasa memuaskan pemohon, maka eskalasi berikutnya adalah ke level mahkamah informasi Bank Indonesia. Dengan demikian, kepuasan pemohon informasi tidak berhenti di salah satu tahapan.
0 comments:
Post a Comment
Sumbangkan artikel Anda ke sahabat.bicara131@gmail.com